Slogan saja

e-en mengempaskan tubuhnya di sebuah kursi, membuka sebuah buku diary "kisah hidup qu yang pertama".

Diambilnya pulpen bertinta merah.

Lalu meluaplah yang terpendam sejak tadi sore.

Apa sih rasanya kecewa?

Manis, Asem, Asin, Pahit, Pedas atau tawar?

Semua orang yang saya kenal adalah manusia biasa, tidak ada malaikat diantara mereka.


Mungkin harusnya saya tidak kecewa, manakala orang yang saya kagumi karena menggemborkan boikot, ternyata masih mengkonsumsi produk boikot tersebut, padahal ada produk sejenis (pengganti) yang non-boikot.


Namun tetap saja, kekecewaan justru makin bertambah, saat ada pihak lain yang melakukan praktik "pembenaran".

Mbak "Anu" aja masih pake pelembab ini kok, jadi gapapa-lah... kan boikot juga gak maksa... gak harus...


Ya.... Mungkin memang beginilah umat Islam...

Umat Islam bagaikan satu tubuh, jadi tangan kiri membeli pisau untuk memotong tangan kanan, tapi tangan kiri-nya gak sadar, atau gak mau sadar, atau gak mau peduli.

Ketika tangan kanan sudah buntung, barulah tangan kiri bingung lalu mencaci maki dan meluapkan sumpah serapah.


Akankah itu terus berulang? tangan kiri membeli pisau untuk memotong kaki, tapi tangan kiri-nya gak sadar, atau gak mau sadar, atau gak mau peduli.

Ketika kaki sudah buntung, barulah tangan kiri bingung lalu mencaci maki dan meluapkan sumpah serapah.


Bagaimana cerita selanjutnya?


Entahlah...


Saya hanya berharap praktik memotong tubuh tidak terus berlanjut.


Tapi entahlah...


Saya masih berusaha untuk tidak kecewa.

Berharap semua bukan hanya slogan saja.